MAKALAH
“ SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA”
MAKALAH SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA
DESY PUTRI PERTIWI
XI IPA A
SMAN 10 SAMARINDA
Perkembangan perekonomian pulau
Jawa dalam abad ke 19, yaitu merupakan masa dimana terjadinya terjadinya
sistem-sistem perekonomian seperti sistem sewa tanah (land-rent), sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)
dan juga sistem ekonomikolonial yang umumnya disebut
sistem liberalisme. Perekonomian pulau Jawa pada masa itu merupakan masa dimana
rakyat pulau Jawa tidak diuntungkan dalam kegiatan ekonomi, dikarenakan
kegiatan ekonomi umumnya di monopoli oleh pemerintah kolonial.
Adanya tanam paksa di karenakan kesulitan
keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan
untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830
di Negeri Belanda
dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia
berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan
menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang
termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi
yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda
sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen
(1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang
Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan
yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan
produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah.
Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa
dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis di dunia.
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat
hambatan karena persaingan-persaingan dagang internasional. Persaingan dagang
tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura
pada tahun 1819 menyebabkan perananBatavia dalam
perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan
Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan
Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi
Belanda.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana sistem tanam paksa Belanda yang di
jalankan di Indonesia ?
- Apa yang menyebabkan Belanda menyuruh petani
untuk menanam kopi pada abad ke-18 ?
- Apa dampak dan pengaruh dari tanam paksa bagi
Belanda maupun Indonesia ?
- Tokoh-tokoh yang menentang tanam paksa di
Indonesia ?
- Bagaimana penghapusan tanam paksa di
Indonesia ?
C. Tujuan
- Menjelaskan jalannya tanam paksa yang terjadi
di Indonesia.
- Menjelaskan keuntungan Belanda dalam menyuruh
petani utuk menanam kopi.
- Menjelaskan dampak dan pengaruh yang
disebabkan tanam paksa , baik bagi Indonesia maupun bagi Belanda.
- Mengetahui tokoh-tokoh yang menentang
sekaligus menghapus sistem tanam paksa di Indonesia.
- Menjelaskan bagaimana tanam paksa dapat di
hapuskan.
BAB II
SISTEM TANAM PAKSA
A. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870
Johannes Van den Bosch adalah
pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19
Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem tanam
paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan
menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa
adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura,
yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem
tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara).
Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang
Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman
yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang
diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian
tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan
untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian
tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran
pajak tanah.
5. Hasil
dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat,
maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk
memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman
yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian
rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah.
7. Pelaksanaan
tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa
hanya sebagai pengawas.
Ketentuan-ketentuan
tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat.
Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan
sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Salah satu tanaman yang di
tanam pada saat tanam paksa adalah kopi .
Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah perkebunan
komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagianIndonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesiaadalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung
dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing danSidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah,Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.
- Penanaman kopi
Pada
permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah
penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis
Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberikadan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada
di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama
meskipun jenis kopi yang di budidayakan di sana juga kopi Arabica.
Pemerintah
Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk
menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lamapopuler dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di
pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit
lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi
Robusta. sebenarnya, perkebunan kopi
ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan
kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh
Indonesia pada umumnya.
Penanaman kopi yang mulai
dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahyangan sistem tanam paksa di
Indonesia sudah ada sejak abad ke 18, dan yang ditanam disana bukanlah tebu,
nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi
perimadona dunia dan harganya sangat mahal.
Sistem tanam paksa yang
sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang ditanam di
Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah kolonial ke
Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya
sistem tanam paksa kopi di Parahyangan.
- Pelaksanaan, Proses Produksi
Dan Pendistribusian Kopi
Dalam pelaksanaanya kebun-kebun
kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib
namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar
saja, namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil
produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun diwajibkan
untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk
yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut.
Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman,
Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam
paksa kopi di Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para
Menak dan Sentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.
Akibat dikerahkannya bangsawan
lokal tersebut beban petani sunda pun semakin berat, dikarenakan selain harus
menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani pun harus
menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan
semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang
dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya
dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para
pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi
sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung
pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang
seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah.
Di tambah pula pada waktu
petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun kopi.
Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat
hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk
semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah
Belanda. Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang
dilakukan di Parahyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu
mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para
bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan
tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan
selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada
semacan perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa seperti kopi
dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau kenegara lain di Eropa.
- Faktor yang Mengakibatkan
Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Dalam bukunya Profesor Jan
Breman tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para petani Sunda, dan
inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan bukan
pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dikarenakan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak
petani yang yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana
kelaparan akibat berkurangnya lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan
tanaman kopi, timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana
kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat
kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para petani
Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan
serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun 1850 budi daya
kopi dari Parahyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia.
B. Penyimpangan
Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang
dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang
semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan
penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa
Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
1. Rakyat
makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara
cuma-cuma kepada Belanda.
2. Sawah
dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan
mengakibatkan penghasilan menurun.
3. Beban
rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen,
membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen
gagal.
4. Akibat
bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5. Bahaya
kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian
meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi
di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah
mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah
penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di
Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi
di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa
Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg
lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam
paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di negeri Belanda.
C. Dampak Tanam Paksa
Dampak tanam paksa bagi Belanda
lebih condong memperoleh keuntungannya :
a. Meningkatnya
hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b. Perusahaan
pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam
paksa mendapatkan keuntungan.
c. Belanda
mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun
1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai
18 juta gulden.
d. Kas
belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
e. Penerimaan
pendapatan melebihi anggaran belanja.
f. Belanda
tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang
Indonesia.
g. Menjadikan
Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi bangsa
Indonesia sendiri sangat merugikan bangsa ,antara lain :
a. Kemiskinan
dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
b. Beban
pajak yang berat.
c. Pertanian,
khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
d. Kelaparan
dan kematian terjadi di mana-mana.
e. Pemaksaan
bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
f. Jumlah
penduduk Indonesia menurun.
g. Segi
positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
h. Rakyat
Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
i. Memperkenalkan
teknoligo multicrops dalam pertanian.
D. Pengaruh
Sistem Tanam Paksa
1.
Bidang Sosial
a. Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah.
b. Ikatan
antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat
perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya,
mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk
perkembangan kehidupan penduduknya.
c. Tanam
paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam
hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan
partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
d. Peranan
bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa
2.
Bidang Ekonomi
a. Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula.
b. Dalam
pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa
menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan
demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di
Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah
timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah
yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh
pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya,
jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial,
dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
E. Tokoh-Tokoh Penentang Tanam Paksa
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia
sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani
yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa
dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh
ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha
dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh
pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang
pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya
adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih
menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa
dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar
(lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku
tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan
sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas
segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari
kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang
mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2. Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell
menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van
Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh
itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen
Belanda.
3. Fransen van der Putte
(1822-1902)
Fransen
van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap
kegiatan tanam paksa.
4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha,
dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai
tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.
Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan
penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866),
tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen
Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang
paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara
berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
·
Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
·
Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the
dan nila.
·
Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa
telah dihapuskan.
Karena
banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak
berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda,
maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal
kolonial.
F. Penghapusan
Tanam Paksa
Culturstelsel menghadapi
berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan di kalangan orang
Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu.
Wabah-wabah penyakit terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di
Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan
pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis. Akibatnya rakyat menjadi
semakin menderita.
Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung
sesudah tahun 1860-an. Tanaman paksa lada dihapus pada tahun 1862. Penghapusan
tanaman-tanaman paksa indigo dan teh pada tahun 1865. Ketika Fransen van den
Putte menjadi menteri jajahan (1863-1866) melakukan berbagai perbaikan.
Penanaman paksa tembakau dan tanaman lainnya, selain tebu dan kopi di Jawa
dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati, melarang
memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap salah. Pada
tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang Comptabiliteit,
tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya
tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-Generaal sehingga Staten-Generaal langsung
mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.
Kopi dan gula merupakan tanaman yang paling penting
untuk mendapatkan keuntungan sehingga tanam paksa pada dua tanaman ini paling
akhir dihapuskan. Undang-Undang Gula tahun 1870 ditetapkan bahwa pemerintah
akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada tahun
1878. Penghapusan penanaman kopi baru berakhir di Priangan pada awal tahun1917,
dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada bulan Juni 1919.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam mengembalikan finansial
Belanda yang bengkak di karenakan pengeluaran begitu besar saat melawan pemberontakan
Diponegoro dan juga perang dengan Belgia, maka pemerintahan Belanda untuk
pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Sulitnya
kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat
berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan
tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel. Dimana ciri
utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil
pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam
Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834.
Dalam mengembalikan finansial
Belanda , tanaman yang di tanam kebanyakan adalah kopi , karena kopi pada abad
ke-18 merupakan primadona dunia dan harganya sangat mahal. Kopi yang di tanam
berasal dari India Selatan dan di bawa oleh pemerintahan kolonial ke Batavia
khusunya di sebarkan ke Parahyangan. Dalam pelaksanaanya banyak terjadi melakukan
perlawan dan akibat dari perlawanan para petani dan banyak timbul kritik dari
kaum liberal serta kaum humanis akhirnya pada 1870 sistem tanam paksa kopi di
Parahyangan di hentikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sistem tanam paksa memberikan
dampak bagi bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia ,seperti Kas belanda yang
semula kosong dapat dipenuhi , penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
dan menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil
tanaman tropis. Sementara itu , bangsa
Indonesia juga terkena dari dampak tanam paksa yang sangat merugikan bangsa ,
seperti : Kemiskinan semakin merajalela, adanya beban pajak yang berat dan
kelaparan / kematian terjadi dimana-mana.
Dalam hal ini belanda mendapat
pertentangan dari tokoh-tokoh terkait dengan sistem tanam paksa yang dijalankan
, tokoh-tokoh tersebut antara lain :
1.
Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
2.
Baron van Hoevell (1812–1870)
3.
Fransen van der Putte (1822-1902)
4.
Golongan Pengusaha